Tinggal di sebuah tempat yang tidak begitu kota namun juga tidak begitu desa, karena kami mencari koneksi internet untuk bekerja. Maunya tinggal di desa, tapi tidak bisa menggunakan internet, tapi kalau ke kota, kontrakan rumahnya mahal sekali, itu masalahnya. 5 tahun 3 bulan saya menikah dan saya merasakan sebuah kehidupan yang amat baik. Pasangan yang mengingatkan kebaikan-kebaikan dengan segala kekurangannya, dan saat ini saya berusaha untuk tidak begitu mencintainya seperti saat saya ingin dialah yang menjadi suami saya dulu.
Aktivitas saya hanyalah sebagai seorang ibu dirumah dengan berbagai macam kegiatan yang umum dilakukan oleh ibu kebanyakan. Memasak, bersihin rumah dari depan sampai belakang, merapikan baju-baju, dan main sama anak-anak tentu saja. Satu hal yang saya selalu bersyukur adalah, saya tidak pernah merasakan bosan ataupun jenuh melakukan pekerjaan itu berulang-ulang kali setiap harinya.
Pada Dasarnya, Saya Lebih Suka Berada Didalam Dirumah
Sebelum menikah, saya memang tidak ingin berada didalam rumah orang tua saya. Saya selalu bepergian dari kota satu ke kota lain bahkan sampai ke pulau lain. Sejak umur 14 Tahun saya sudah ikut orang lain menjadi seorang pembantu. Saat itu, saya bekerja disebuah rumah milik bos bude saya di Mojokerto. Seorang cina dengan 4 pembantu lainnya. Kenangan itu tidak bisa saya hapuskan dari ingatan saya. Pekerjaan saya seperti pekerjaan seorang pembantu tentunya, mencuci, setrika, ngepel, bersihin rumah, sampai melayani majikan dari hal yang paling remeh.
Meskipun saya menganggap pekerjaan pembantu itu sah-sah saja, tapi jujur.. pekerjaan itu dianggap rendahan oleh kebanyakan orang. Meskipun rasanya saya mendapat banyak manfaat dari pekerjaan itu, tentu saya juga mempelajari bagaimana seharusnya kita kepada orang lain yang mungkin saja yang bekerja dengan mereka.
Kita sama, kita sejajar dan kita memiliki posisi yang sama untuk mendapatkan perlakuan sebagai manusia. Bukan hanya disatu rumah saya menjadi pembantu, Di Surabaya ada sekitar 4 rumah saya singgahi sebagai tempat saya mencari arti hidup. Dan yang terakhir, saya berada di Rungkut Surabaya, yang dengan kebaikan hati ibu dan bapak serta semua keluarga majikan memperlakukan saya dengan sangat baik, saya diperlakukan sebagai keluarga, bukan orang lain. Setelah berada sekitar 6 tahun di Rungkut Surabaya, akhirnya saya merasa benar-benar menjadi diri sendiri dan menjadi orang yang sesungguhnya saat merantau di Bali selama hanya 1,5 tahun.
Pelajaran Hidup Bisa Didapat Dari Mana Saja
Dari orang yang suka ngomel, suka narkoba, suka dugem, suka merendahkan orang lain, menganggap saya adalah seonggok sampah atau anjing yang bisa disuruh-suruh sampai majikan yang menganggap saya keluarganya, dari sana saya mendapatkan ribuan pelajaran. Hargailah orang lain, mengalah, legowo, percaya diri, belajarlah, diam, ikhlas, jujur semuanya pelajaran lengkap ini saya dapatkan. Bekal untuk memberikan contoh kepada anak-anak agar tidak menjadi orang yang minim adab dan akhlak. Hanya satu yang masih saya kejar hingga saat ini, sekolah kembali untuk mendidik anak-anak dengan ilmu agama. Semoga Allah kabulkan niatan menuntut ilmu, dimudahkan jalannya serta diringankan hati untuk menjaga niat agar tetap tumbuh subur. Belajar bisa dimana saja, tapi ilmu dan belajar disekolah dengan guru-guru dan ulama juga sangat penting.
Jangan Pernah Merasa Rendah Diri
Kadang, sesekali saya tu masih teringat dengan masa lalu dan kehidupan yang sudah terlewatkan. Tapi, saya tahu suami selalu mendukung untuk terus percaya diri, semakin ingin menunjukkan bahwa kamu adalah orang yang patut menjadi diri sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Jangan terpacu oleh masa lalu, buat dirimu berharga untuk dirimu sendiri. Sekarang kamu sudah berbeda, kamu bukan lagi seorang yang bisa disuruh-suruh orang lain, dan kamu gak boleh terus merasa rendah diri. Bersuaralah lebih lantang jika memang itu kebenaran.
Hidup Bukan Tentang Terus Menuntut, Tapi Terus Bersyukur
Hal yang harus diperhatikan dan dijaga saat kita memutuskan untuk menikah dan siap tinggal didalam rumah selamanya adalah tidak adanya tuntutan untuk begini dan begitu. Dasarnya saya yang emang enggak suka neko-neko baik untuk diri saya sendiri atau keluarga. Mungkin keinginan saya kurang tinggi, sebutlah saya minim keinginan untuk begini dan begitu. Menjadi seperti mereka dan mereka, sama sekali tidak pernah terpikirkan dalam benak saya. Saya menerima diri saya sendiri dengan semua kekurangannya, semua keburukan dengan penuh rasa syukur. Meski pernah sekali-kali bertanya kepada diri sendiri, cuma seginikah saya, tak bisakah untuk lebih. Saya mencoba berdamai dengan tuntutan-tuntutan yang sulit untuk saya gapai, rasanya itu melelahkan, sangat melelahkan.
waah.... masih muda. Jika hidup penuh dgn tuntutan, maka akan terasa lelah memang. Akan lebih baik jika banyak bersyukur, bener banget :)
BalasHapus